Sumber : Aneka Ragam
Oleh : Alvira Dwi Utami
Ciri Khas Kegiatan Pernikahan Suku Bugis Sulawesi Selatan
Dalam acara perkawinan pada masyarakat Bugis Bone ada dua tahap dalam
proses pelaksanaan upacara perkawinan masyarakat Bugis Bone yaitu, tahap
sebelum dan sesudah akad perkawinan. Bagi masyarakat Sulawesi Selatan
pada umumnya, masyarakat Bugis Bone khususnya menganggap bahwa upacara
perkawinan merupakan sesuatu hal yang sangat sakral, artinya mengandung
nilai-nilai yang suci. Dalam upacara perkawinan adat masyarakat Bugis
Bone yang disebut ”Appabottingeng ri Tana Ugi”
Mappabotting adalah upacara adat pernikahan orang Bugis di Selawesi
Selatan. Secara garis besar, pelaksanaan upacara adat ini dibagi menjadi
tiga tahap, yaitu upacara pra pernikahan, pesta pernikahan, dan pasca
pernikahan. Dalam upacara perkawinan adat masyarakat Bugis Bone yang
disebut ”Appabottingeng ri Tana Ugi” terdiri atas beberapa tahap
kegiatan. Kegiatan-kegiatan tersebut merupakan rangkaian yang berurutan
yang tidak boleh saling tukar menukar, kegiatan ini hanya dilakukan pada
masyarakat Bugis Bone yang betul-betul masih memelihara adat
istiadat.Pada masyarakat Bugis Bone sekarang ini masih kental dengan
kegiatan tersebut, karena hal itu merupakan hal yang sewajarnya
dilaksanakan karena mengandung nilai-nilai yang sarat akan makna,
diantaranya agar kedua mempelai dapat membina hubungan yang harmonis dan
abadi, dan hubungan antar dua keluarga tidak retak.
Kegiatan – kegiatan tahap kegiatan nikah suku bugis:
Mattiro (menjadi tamu)
Merupakan suatu proses dalam penyelenggaraan perkawinan. Mattiro artinya
melihat dan memantau dari jauh atau Mabbaja laleng (membuka jalan).
Maksudnya calon mempelai laki-laki melihat calon mempelai perempuan
dengan cara bertamu dirumah calon mempelai perempuan, apabila dianggap
layak, maka akan dilakukan langkah selanjutnya.
Mapessek-pessek (mencari informasi)
Saat sekarang ini, tidak terlalu banyak melakukan mapessek-pessek karena
mayoritas calon telah ditentukan oleh orang tua mempelai laki-laki yang
sudah betul-betul dikenal. Ataupun calon mempelai perempuan telah
dikenal akrab oleh calon mempelai laki-laki.
Mammanuk-manuk (mencari calon)
Biasanya orang yang datang mammanuk-manuk adalah orang yang datang
mapessek-pessek supaya lebih mudah menghubungkan pembicaraan yang
pertama dan kedua. Berdasarkan pembicaraan antara pammanuk-manuk dengan
orang tua si perempuan, maka orang tua tersebut berjanji akan memberi
tahukan kepada keluarga dari pihak laki-laki untuk datang kembali sesuai
dengan waktu yang ditentukan. Jika kemudian terjadi kesepakatan maka
ditentukanlah waktu madduta Mallino (duta resmi)
Madduta mallino
Mallino artinya terang-terangan mengatakan suatu yang tersembunyi. Jadi
Duta Mallino adalah utusan resmi keluarga laki-laki kerumah perempuan
untuk menyampaikan amanat secara terang-terangan apa yang telah dirintis
sebelumnya pada waktu mappesek-pesek dan mammanuk-manuk.
Pada acara ini pihak keluarga perempuan mengundang pihak keluarga
terdekatnya serta orang-orang yang dianggap bisa mempertimbangkan hal
lamaran pada waktu pelamaran. Setelah rombongan To Madduta (utusan)
datang, kemudian dijemput dan dipersilahkan duduk pada tempat yang telah
disediakan. Dimulailah pembicaraan antara To Madduta dengan To
Riaddutai, kemudian pihak perempuan pertama mengangkat bicara,lalu
pihak pria menguitarakan maksud kedatangannya.
Apa bila pihak perempuan menerima maka akan mengatakan ”Komakkoitu
adatta, srokni tangmgaka, nakkutananga tokki” yang artinya bila
demiokian tekad tuan, kembalilah tuan, pelajarilah saya dan saya
pelajari tuan, atau dengan kata lain pihak perempuan menerima, maka
dilanjutkan dengan pembicaraan selanjutnya yaitu Mappasiarekkeng.
Mappasiarekkeng
Mappasiarekkeng artinya mengikat dengan kuat. Biasa jua disebut dengan
Mappettuada maksudnya kedua belah pihak bersama-sama mengikat janji yang
kuat atas kesepakatan pembicaraan yang dirintis sebelumnya.Dalam acara
ini akan dirundingkan dan diputuskan segala sesuatu yang bertalian
dengan upacara perkawinan, antara lain :
- Tanra esso (penentuan hari)
- Balanca (Uang belanja)/ doi menre (uang naik)
- Sompa (emas kawin) dan lain-lain
Setelah acara peneguhan Pappettuada selesai, maka para hadirin disuguhi
hidangan yang terdiri dari kue-kue adat Bugis yang pad umumnya
manis-manis agar hidup calon pengantin selalu manis (senang) dikemudian
hari.
Upacara Sebelum Akad Perkawinan
Sejak tercapainya kata sepakat, maka kedua belah pihak keluarga sudah
dalam kesibukan. Makin tinggi status sosial dari keluarga yang akan
mengadakan pesta perkawinan itu lebih lama juga dalam persiapan. Untuk
pelaksanan perkawinan dilakukan dengan menyampaikan kepada seluruk sanak
keluarga dan rekan-rekan. Hal ini dilakukan oleh beberapa orang wanita
dengan menggunakan pakaian adat. Perawatan dan perhatian akan diberikan
kepada calon pengantin . biasanya tiga malam berturut-turt sebelum hari
pernikahan calon pengantin Mappasau (mandi uap), calon pengantin
memakai bedak hitam yang terbuat dari beras ketan yang digoreng samapai
hangus yang dicampur dengan asam jawa dan jeruk nipis. Setelah acara
Mappasau, calon pengantin dirias untuk upacara
Mappacci atau Tudang Penni.
Mappaccing berasal dari kata Paccing yang berati bersih. Mappaccing
artinya membersihkan diri. Upacara ini secara simbolik menggunakan daun
Pacci (pacar). Karena acara ini dilaksanakan pada malam hari maka dalam
bahasa Bugis disebut ”Wenni Mappacci”. Melaksanakan upacar Mappaci akad
nikah berarti calon mempelai telah siap dengan hati yang suci bersih
serta ikhlas untuk memasuki alam rumah tangga, dengan membersihkan
segalanya, termasuk : Mappaccing Ati (bersih hati) , Mappaccing
Nawa-nawa (bersih fikiran), Mappaccing Pangkaukeng (bersih/baik tingkah
laku /perbuatan), Mappaccing Ateka (bersih itikat).
Orang-orang yang diminta untuk meletakkan daun Pacci pada calon mempelai
biasanya dalah orang-orang yamg punya kedudukan sosial yang baik serta
punya kehidupan rumah tangga yang bahagia. Semua ini mengandung makna
agar calon mempelai kelak dikemudian hari dapat pula hidup bahagia
seperti mereka yang telah meletakkan daun Pacci itu ditangannya. Dahulu
kala, jumlah orang yang meletakkan daun Pacci disesuaikan dengan tingkat
stratifikasi calon mempelai itu sendiri. Untuk golongan bangsawan
tertinggi jumlahnya 2 x 9 orang atau ”dua kasera”. Untuk golongan
menengah 2 x 7 orang ”dua kapitu”, sedang untuk golongan dibawahnya lagi
1 x 9 orang atau 1 x 7 orang. Tetapi pada waktu sekarang ini tidak ada
lagi perbedaan-perbedaan dalam jumlah orang yang akan melakukan acara
ini. A’barumbung (mappesau) Acara mandi uap yang dilakukan oleh calon
mempelai wanita. Appasili Bunting (Cemme Mapepaccing).
Kegiatan tata upacara ini terdiri dari appasili bunting, a’bubu, dan
appakanre bunting. Prosesi appasili bunting ini hampir mirip dengan
siraman dalam tradisi pernikahan Jawa. Acara ini dimaksudkan sebagai
pembersihan diri lahir dan batin sehingga saat kedua mempelai mengarungi
bahtera rumah tangga, mereka akan mendapat perlindungan dari Yang Kuasa
dan dihindarkan dari segala macam mara bahaya. Acara ini dilanjutkan
dengan Macceko/A’bubu atau mencukur rambut halus di sekitar dahi yang
dilakukan oleh Anrong Bunting (penata rias). Tujuannya agar dadasa atau
hiasan hitam pada dahi yang dikenakan calon mempelai wanita dapat
melekat dengan baik. Setelah usai, dilanjutkan dengan acara Appakanre
Bunting atau suapan calon mempelai yang dilakukan oleh anrong bunting
dan orang tua calon mempelai. Suapan dari orang tua kepada calon
mempelai merupakan simbol bahwa tanggung jawab orang tua kepada si anak
sudah berakhir dan dialihkan ke calon suami si calon mempelai wanita.
Prosesi Acara Appassili :
Sebelum dimandikan, calon mempelai terlebih dahulu memohon doa restu
kepada kedua orang tua di dalam kamar atau di depan pelaminan. Kemudian
calon mempelai akan diantarkan ke tempat siraman di bawah naungan payung
berbentuk segi empat (Lellu) yang dipegang oleh 4 (empat) orang gadis
bila calon mempelai wanita dan 4 (empat) orang laki-laki jika calon
mempelai pria. Setelah tiba di tempat siraman, prosesi dimulai dengan
diawali oleh Anrong Bunting, setelah selesai dilanjutkan oleh kedua
orang tua serta orang-orang yang dituakan (To’malabbiritta) yang
berjumlah tujuh atau sembilan pasang.
Tata cara pelaksanaan siraman adalah air dari pammaja/gentong yang telah
dicampur dengan 7 (tujuh) macam bunga dituangkan ke atas bahu kanan
kemudian ke bahu kiri calon mempelai dan terakhir di punggung, disertai
dengan doa dari masing-masing figure yang diberi mandat untuk memandikan
calon mempelai. Setelah keseluruhan selesai, acara siraman diakhiri
oleh Ayahanda yang memandu calon mempelai mengambil air wudhu dan
mengucapakan dua kalimat syahadat sebanyak tiga kali. Selanjutnya calon
mempelai menuju ke kamar untuk berganti pakaian.
A’bubbu’ (Macceko)
Setelah berganti pakaian, calon mempelai selanjutnya didudukkan di depan
pelaminan dengan berbusana Baju bodo, tope (sarung pengantin) atau
lipa’ sabbe, serta assesories lainnya. Prosesi acara A’bubbu (macceko)
dimulai dengan membersihkan rambut atau bulu-bulu halus yang terdapat di
ubun-ubun atau alis.
Appakanre bunting
Appakanre bunting artinya menyuapi calon mempelai dengan makan berupa
kue - kue khas tradisional bugis makassar, seperti Bayao nibalu, Cucuru’
bayao, Sirikaya, Onde - onde/ Umba - umba, Bolu peca dan lain - lain
yang telah disiapkan dan ditempatkan dalam suatu wadah besar yang
disebut bosara lompo.
Akkorongtigi/Mappaci
Upacara ini merupakan ritual pemakaian daun pacar ke tangan si calon
mempelai. Daun pacar memiliki sifat magis dan melambangkan kesucian.
Menjelang pernikahan biasanya diadakan malam pacar atau Wenni Mappaci
(Bugis) atau Akkorontigi (Makassar) yang artinya malam mensucikan diri
dengan meletakan tumbukan daun pacar ke tangan calon mempelai.
Orang-orang yang diminta meletakkan daun pacar adalah orang-orang yang
punya kedudukan sosial yang baik serta memiliki rumah tangga langgeng
dan bahagia. Malam mappaci dilakukan menjelang upacara pernikahan dan
diadakan di rumah masing-masing calon mempelai. Acara
Akkorontigi/Mappacci merupakan suatu rangkaian acara yang sakral yang
dihadiri oleh seluruh sanak keluarga (famili) dan undangan.
Acara Akkorontigi memiliki hikmah yang mendalam, mempunyai nilai dan
arti kesucian dan kebersihan lahir dan batin, dengan harapan agar calon
mempelai senantiasa bersih dan suci dalam menghadapi hari esok yaitu
hari pernikahannya.
Perlengkapannya:
- Pelaminan (Lamming).
- Bantal.
- Sarung sutera sebanyak 7 (tujuh) lembar yang diletakkan di atas bantal.
- Bombong Unti (Pucuk daun pisang).
- Leko Panasa (Daun nangka), daun nangka diletakkan di atas pucuk daun pisang secara bersusun terdiri dari 7 atau 9 lembar
- Leko’ Korontigi (Daun Pacci), adalah semacam daun tumbuh-tumbuhan (daun pacar) yang ditumbuk halus.
- Benno’ (Bente), adalah butiran beras yang digoreng tanpa menggunakan minyak hingga mekar
- Unti Te’ne (Pisang Raja).
- Ka’do’ Minnya’ (Nasi Ketan).
- Kanjoli/Tai Bani (Lilin berwarna merah).
Setelah prosesi mappacci selesai, keesokan harinya mempelai laki-laki
diantar kerumah mempelai wanita untuk melaksanakan akad nikah (kalau
belum melakukan akad nikah). Karena pada masyarakat Bugis Bone kadang
melaksanakan akad nikah sebelum acara perkawinan dilangsungkan yang
disebut istilah Kawissoro. Kalau sudah melaksanakan Kawissoro hanya
diantar untuk melaksanakan acara Mappasilukang dan Makkarawa yang
dipimpin oleh Indo Botting.
Upacara akad nikah Appanai’ Leko Lompo (Erang-erang) atau sirih pinang, dan Assimorong
(Akad Nikah).
Kegiatan ini dilakukan di kediaman calon mempelai wanita, dimana rumah
telah ditata dengan indahnya karena akan menerima tamu-tamu kehormatan
dan melaksanakan prosesi acara yang sangat bersejarah yaitu pernikahan
kedua calon mempelai.
Beberapa persiapan yang dilakukan oleh kedua belah pihak keluarga:
Keluarga Calon Mempelai Wanita (CPW)
- Dua pasang sesepuh untuk menjemput CPP dan memegang Lola menuntun CPP memasuki rumah CPW.
- Seorang ibu yang bertugas menaburkan Bente (benno) ke CPP saat memasuki gerbang kediaman CPW.
- Penerima erang-erang atau seserahan.
- Penerima tamu.
Keluarga Calon Mempelai Pria (CPP)
Petugas pembawa leko’ lompo (seserahan/erang-erang), yang terdiri dari:
- Gadis-gadis berbaju bodo 12 orang yang bertugas membawa bosara atau keranjang yang berisikan kue-kue dan busana serta kelengkapan assesories CPW.
- Petugas pembawa panca terdiri dari 4 orang laki-laki. Panca berisikan 1 tandan kelapa, 1 tandan pisang raja, 1 tandan buah lontara, 1 buah labu kuning besar, 1 buah nangka, 7 batang tebu, jeruk seperlunya, buah nenas seperlunya, dan lain-lain
- Seorang laki-laki pembawa tombak.
- Anak-anak kecil pembawa ceret 3 orang.
- Seorang lelaki dewasa pembawa sundrang (mahar).
- Remaja pria 4 orang untuk membawa Lellu (payung persegi empat).
- Seorang anak laki-laki bertugas sebagai passappi bunting.
Calon mempelai Pria
Rombongan orang tua
Rombangan saudara kandung
Rombongan sanak keluarga
Rombongan undangan.
Prosesi acara Assimorong:
Setelah CPP beserta rombongan tiba di sekitar kediaman CPP, seluruh
rombongan diatur sesuai susunan barisan yang telah ditetapkan. Ketika
CPP telah siap di bawa Lellu sesepuh dari pihak CPW datang menjemput
dengan mengapit CPP dan menggunakan Lola menuntun CPP menuju gerbang
kediaman CPW. Saat tiba di gerbang halaman, CPP disiram dengan
Bente/Benno oleh salah seorang sesepuh dari keluarga CPW. Kemudian
dilanjutkan dengan dialog serah terima pengantin dan penyerahan
seserahan leko lompo atau erang-erang. Setelah itu CPP beserta rombongan
memasuki kediaman CPW untuk dinikahkan. Kemudian dilakukan pemeriksaan
berkas oleh petugas KUA dan permohonan ijin CPW kepada kedua orang tua
untuk dinikahkan, yang selanjutnya dilakukan dengan prosesi Ijab dan
Qobul.
Setelah acara akad nikah dilaksanakan, mempelai pria menuju ke kamar
mempelai wanita, dan berlangsung prosesi acara ketuk pintu, yang
dilanjutkan dengan appadongko nikkah/mappasikarawa, penyerahan mahar
atau mas kawin dari mempelai pria kepada mempelai wanita. Setelah itu
kedua mempelai menuju ke depan pelaminan untuk melakukan prosesi
Appla’popporo atau sungkeman kepada kedua orang tua dan sanak keluarga
lainnya, yang kemudian dilanjutkan dengan acara pemasangan cincin kawin,
nasehat perkawinan, dan doa.
Upacara Setelah Akad Perkawinan
Setelah akad perkawinan berlangsung, biasanya biadakan acara resepsi
(walimah) dimana semua tamu undangan hadir untuk memberikan doa restu
dan sekaligus menjadi saksi atas pernikahan kedua mempelai agar mereka
tidak berburuk sangka ketika suatu saat melihat kedua mempelai
bermesraan.
Pada acara resepsi tersebut dikenal juga yang namanya Ana Botting, hal
ini dinilai mempunyai andil sehingga merupakan sesuatu yang tidak
terpisakhkan pada masyarakat bugis bone. Sebenarnya pada masyarakat
Bugis Bone, ana botting tidak dikenal dalam sejarah, dalam setiap
perkawinan kedua mempelai diapit oleh Balibotting dan Passepik, mereka
bertugas untuk mendampingi pengantin di pelaminan.
Ana Botting dalam perkawinan merupakan perilaku sosial yang mengandung
nilai-nilai kemanusiaan dan merupakan ciri khas kebudayaan orang Bugis
pada umumnya dan orang Bugis pada khususnya, karena kebudayaan menunjuk
kepada berbagai aspek kehidupan yang meliputi cara-cara berlaku,
kepercayaan dan sikap-sikap serta hasil kegiatan manusia yang khas untuk
suatu masyarakat aatu kelompok penduduk tertentu. Oleh karena itu, Ana
Botting merupakan kegiatan (perilaku) manusia yang dilaksanakan oleh
masyarakat Bugis Bone pada saat dilangsungkan perkawinan.
Assimorong/Menre’kawing
Acara ini merupakan acara akad nikah dan menjadi puncak dari rangkaian
upacara pernikahan adat Bugis-Makassar. Calon mempelai pria diantar ke
rumah calon mempelai wanita yang disebut Simorong (Makasar) atau
Menre’kawing (Bugis). Di masa sekarang, dilakukan bersamaan dengan
prosesi Appanai Leko Lompo (seserahan). Karena dilakukan bersamaan, maka
rombongan terdiri dari dua rombongan, yaitu rombongan pembawa Leko
Lompo (seserahan) dan rombongan calon mempelai pria bersama keluarga dan
undangan.
Appabajikang Bunting
Prosesi ini merupakan prosesi menyatukan kedua mempelai. Setelah akad
nikah selesai, mempelai pria diantar ke kamar mempelai wanita. Dalam
tradisi Bugis-Makasar, pintu menuju kamar mempelai wanita biasanya
terkunci rapat. Kemudian terjadi dialog singkat antara pengantar
mempelai pria dengan penjaga pintu kamar mempelai wanita. Setelah
mempelai pria diizinkan masuk, kemudian diadakan acara Mappasikarawa
(saling menyentuh). Sesudah itu, kedua mempelai bersanding di atas
tempat tidur untuk mengikuti beberapa acara seperti pemasangan sarung
sebanyak tujuh lembar yang dipandu oleh indo botting (pemandu adat). Hal
ini mengandung makna mempelai pria sudah diterima oleh keluarga
mempelai wanita.
Alleka bunting (marolla)
Acara ini sering disebut sebagai acara ngunduh mantu. Sehari sesudah
pesta pernikahan, mempelai wanita ditemani beberapa orang anggota
keluarga diantar ke rumah orang tua mempelai pria. Rombongan ini membawa
beberapa hadiah sebagia balasan untuk mempelai pria. Mempelai wanita
membawa sarung untuk orang tua mempelai pria dan saudara-saudaranya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar