PERNIKAHAN DI DALAM ISLAM ADALAH SEBUAH IKATAN SUCI, ikatan yang akan
menghalalkan yang haram dan menyatukan dua insan dan keluarga. Pernikahan
adalah pintu menuju kebaikan yang bertebaran pada jalan-Nya, dan juga bagian
dari keindahan yang allah beri di dunia.
PERNIKAHAN adalah kebaikan, berkeluarga
adalah kebaikan. Maka, suatu kebaikan sudah semestinya diawali dengan kebaikan
pula. Pernikahan yang diawali dengan pacaran ibarat orang berharap kebaikan,
tapi sudah mulainya dengan keburukan. It’s not how life
works.
Sama saja dengan interaksi-interaksi
pranikah yang diajarkan Barat, semisal pertunangan, Islam tidak pernah
mengenalnya.
Islam memandang wanita itu suci dan
makhluk terhormat, karenanya islam merancang sebuah jenis interaksi yang tiada
merugikan wanita atau lelaki yang telah sampai pada kemampuan dan kesiapan,
lalu mengiginkan untuk menikah. Rancangan itu ialah dengan proses khitbah (peminangan) dan ta’aruf (perkenalan).
Lelaki atau
wanita yang sudah mampu dan siap membina rumah tangga, maka boleh bagi mereka
menentukan calon yang merekan sukai karena Allah pun telah membolehkannya.
Bila sudah mendapatkan yang disenangi, yang kita pun
cenderung kepadanya, lanjutkan ke proses khitbah.
Khitbah adalah sebuah pernyataan peminangan dari
seorang lelaki kepada seorang wanita atau walinya, agar wanita itu bersedia
menikahinya dan membina keluarga bersamanya. Berlaku juga sebaliknya dari wanita
ke pada lelaki..
PEMINANGAN ini boleh dilakukan baik secara terang-terangan
ataupun dengan cara sindiran, boleh dilakukan kepada wanitanya secara langsung
ataupun langsung kepada wanitanya.
Abdurrahman ibn Auf dan Ummu Hakim merupakan sahabatnya
Rasulullah Saw. Ketika itu Ummu Hakim statusnya menjanda karena suaminya telah
gugur dalam medan jihad fi sabilillah. Kemudian,
Abdurrahman ibn Auf datang kepadanya secara langsung untuk mengkhitbah
sekaligus menikahinya.
Kejadian ini menunjukkan seorang laki-laki boleh
meminang secara langsung calon istrinya tanpa didampingi oleh orang tua atau
walinya dan Rasulullah Saw. Tidak menegur Abdurrahman ibn Auf, yang berarti
persetujuan Rasulullah terhadap cara semisal ini.
Bagi lelaki atau wanita yang mampu dan siap menikah dan
telah mengkhitbah lawan jenisnya untuk menikah, diperbolehkan baginya
melihatnya sehingga timbul kecenderungan dalam dirinya untuk memantapkan
niatnya menikah. Begitulah pengecualian Islam terhadap sesiapa yang sudah mampu
dan siap menikah, lalu sudah mampu dan siap menikah, lalu sudah mengkhitbah,
yang tidak diperkenankan bagi selain mereka.
Begitulah Islam membolehkan melihat
wanita yang dipinang, agar mantap untuk menikah.
Bila setelah melihat tidak terdapat
kemantapan hati, khitbah bisa saja dibatalkan dan tiada pihak yang dirugikan
sama sekali.
Boleh saja untuk menolak saat dipinang bila yang
meminang tidak disukai atau tidak memenuhi syarat yang diinginkan oleh yang
dipinang. Semua itu sah-sah saja didalam Islam. Bila diterima khitbahnya, bisa
di sempurnakan KHITBAHnya dengan mendatangi walinya.
Seorang lelaki yang mampu dan siap menikah, lalu serius
dengan niatnya, maka sudah seharusnya ia bukan hanya MENGKHITBAH wanita yang ia
inginkan, tapi juga mendatangi wali wanita yang ia ingin nikahi.
Sumber : Felix Y. Siawu. Cetakan, Oktober
2014.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar