Sabtu, 03 Desember 2016

KHITBAH – TA’ARUF BAGI YANG SUDAH SIAP



PERNIKAHAN DI DALAM ISLAM ADALAH SEBUAH IKATAN SUCI, ikatan yang akan menghalalkan yang haram dan menyatukan dua insan dan keluarga. Pernikahan adalah pintu menuju kebaikan yang bertebaran pada jalan-Nya, dan juga bagian dari keindahan yang allah beri di dunia.
PERNIKAHAN adalah kebaikan, berkeluarga adalah kebaikan. Maka, suatu kebaikan sudah semestinya diawali dengan kebaikan pula. Pernikahan yang diawali dengan pacaran ibarat orang berharap kebaikan, tapi sudah mulainya dengan keburukan. It’s not how life works.

Sama saja dengan interaksi-interaksi pranikah yang diajarkan Barat, semisal pertunangan, Islam tidak pernah mengenalnya.
Islam memandang wanita itu suci dan makhluk terhormat, karenanya islam merancang sebuah jenis interaksi yang tiada merugikan wanita atau lelaki yang telah sampai pada kemampuan dan kesiapan, lalu mengiginkan untuk menikah. Rancangan itu ialah dengan proses khitbah (peminangan) dan ta’aruf (perkenalan).
 Lelaki atau wanita yang sudah mampu dan siap membina rumah tangga, maka boleh bagi mereka menentukan calon yang merekan sukai karena Allah pun telah membolehkannya.

Bila sudah mendapatkan yang disenangi, yang kita pun cenderung kepadanya, lanjutkan ke proses khitbah.
Khitbah adalah sebuah pernyataan peminangan dari seorang lelaki kepada seorang wanita atau walinya, agar wanita itu bersedia menikahinya dan membina keluarga bersamanya. Berlaku juga sebaliknya dari wanita ke pada lelaki..


PEMINANGAN ini boleh dilakukan baik secara terang-terangan ataupun dengan cara sindiran, boleh dilakukan kepada wanitanya secara langsung ataupun langsung kepada wanitanya.
Abdurrahman ibn Auf dan Ummu Hakim merupakan sahabatnya Rasulullah Saw. Ketika itu Ummu Hakim statusnya menjanda karena suaminya telah gugur dalam medan jihad fi sabilillah. Kemudian, Abdurrahman ibn Auf datang kepadanya secara langsung untuk mengkhitbah sekaligus menikahinya.
Kejadian ini menunjukkan seorang laki-laki boleh meminang secara langsung calon istrinya tanpa didampingi oleh orang tua atau walinya dan Rasulullah Saw. Tidak menegur Abdurrahman ibn Auf, yang berarti persetujuan Rasulullah terhadap cara semisal ini.
Bagi lelaki atau wanita yang mampu dan siap menikah dan telah mengkhitbah lawan jenisnya untuk menikah, diperbolehkan baginya melihatnya sehingga timbul kecenderungan dalam dirinya untuk memantapkan niatnya menikah. Begitulah pengecualian Islam terhadap sesiapa yang sudah mampu dan siap menikah, lalu sudah mampu dan siap menikah, lalu sudah mengkhitbah, yang tidak diperkenankan bagi selain mereka.

Begitulah Islam membolehkan melihat wanita yang dipinang, agar mantap untuk menikah.
Bila setelah melihat tidak terdapat kemantapan hati, khitbah bisa saja dibatalkan dan tiada pihak yang dirugikan sama sekali.
Boleh saja untuk menolak saat dipinang bila yang meminang tidak disukai atau tidak memenuhi syarat yang diinginkan oleh yang dipinang. Semua itu sah-sah saja didalam Islam. Bila diterima khitbahnya, bisa di sempurnakan KHITBAHnya dengan mendatangi walinya.
Seorang lelaki yang mampu dan siap menikah, lalu serius dengan niatnya, maka sudah seharusnya ia bukan hanya MENGKHITBAH wanita yang ia inginkan, tapi juga mendatangi wali wanita yang ia ingin nikahi.


Sumber : Felix Y. Siawu. Cetakan, Oktober 2014.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar