Jumat, 09 Desember 2016

TUJUAN PENDIDIKAN PAULO FREIR



A.    Humanisasi
Tujuan pendidikan menurut Freire adalah humanisasi. Tujuan humanisasi juga diungkapkan oleh Ki Hajar Dewantara (Syaripudin, 2015) bahwa “dharma manusia adalah mewujudkan kemanusiaan”. Selanjutnya Menurut Habullah (2000), “humanisasi menurut Ki Hajar Dewantara yaitu menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak itu, agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat dapatlah mencapai keselamatan dan kebahagiaan setinggi-tingginya”. Kodrat dimaknai sebagai sifat bawaan manusia, dilahirkan dengan bekal kekuatan kodrati tersebut yaitu: akal budi, rasa aman, insting, nafsu (memiliki potensi untuk berbuat baik atau jahat). Berdasarkan pendapat Syarifudin dan Hasbulloh dapat disimpulkan bahwa humanisasi menurut konsep Ki Hajar Dewantara adalah tercapainya kodrat dan dharma manusia. Kodrat dan dharma manusia bisa dicapai melalui atribut-atribut dari jiwa manusia yang disebut trisakti jiwa (cipta, rasa, dan karsa). Menurut Ki Hajar Dewantara (2004:93-94), maksud luhur dari pendidikan yaitu tertuju pada fungsionalitas dari jiwa yang termanifestasi pada akal, hati, dan kehendak. Ki Hajar Dewantara menambahkan bahwa untuk mengetahui kodrat alam itu perlulah orang memiliki budi yang bersih (wijsheid) dan termanifestasi pada angan-angan yang tajam, halusnya rasa, dan suci kuatnya kemauan, yaitu sempurnanya cipta- rasa- karsa dan ketiganya harus sakti, oleh karena itu disebut Trisakti Jiwa. Akal bisa sakti jika ia mampu men-cipta, hati bisa sakti jika ia mampu me-rasa, dan kehendak bisa sakti jika ia mampu meng-karsa. Konsep tentang Trisakti Jiwa akan penulis jabarkan sebagai berikut:
1.      Cipta
Menurut Ki Hajar Dewantara (2004: 451) “Cipta dapat diartikan sebagai daya berfikir yang bertugas mencari kebenaran akan sesuatu dengan jalan membandingkan, mencari beda dan samanya. Cipta juga merupakan aktivitas berfikir untuk memperoleh ketentuan mana yang benar dan mana yang salah”. Selanjutnya Ki Hajar Dewantara menegaskan bahwa dalam proses kejiwaan ini perlu kiranya difasilitasi oleh pengalaman-pengalaman tentang yang benar dan yang salah. Dalam hal men-cipta, manusia berkuasa untuk berangan-angan secara aktif dan subjektif, yaitu bertindak menurut keinginanya sendiri. Pendidikan sebagai Humanisasi harus mengkondisikan  peserta didik menjadi subjek yang mampu mencipta, daya cipta merpakan kesaktian dari akal. Jadi jika akal disamakan layaknya kardus yang harus diisi ilmu pengetahuan dengan buku-buku yang tekstualis, dampaknya akal hanya mampu mencopy realitas atau pengetahuan, maka akalnya melempem, tidak sakti, tidak berdaya, oleh karenanya akal mengalami dehumanisasi. Manusia memiliki kekuatan kreatif yang ajaib untuk mengkonfirmasi segala ciptaan Tuhan, me-re-kreasinya menjadi apapun yang bisa berguna dan bermanfaat bagi kehidupannya. Oleh karena itu pendidikan harus tertuju pada pemberdayaan kesaktian dari akal yaitu cipta. Itulah Humanisasi.
2.      Rasa
Menurut Ki Hajar Dewantara (2004:451-452) “Rasa adalah segala gerak-gerik hati kita, yang menyebabkan kita, mau tidak mau, merasa senang atau susah, sedih atau gembira, malu atau bangga, puas atau kecewa, berani atau takut, marah atau berbelas kasih, benci atau cinta, begitu seterusnya. Yang mengalami rasa adalah hati, bukan fikiran kita. Melalui kesaktian cipta kita dapat memperoleh ketetapan tentang kebenaran atau kesalahan, maka dengan kesaktian rasa dalam jiwa kita ddapat memperoleh ketentuan tentang apa yang baik dan apa yang jelek”. Berdasarkan pendapat Ki Hajar Dewantara tentang konsep “rasa”, dapat dimaknai bahwa manusia itu memiliki hati yang mampu me-rasa, itu artinya manusia memiliki kepekaan pada segala sesuatu yang dianggap baik maupun buruk. Nilai kebaikan tentunya diselimuti oleh nilai-nilai moralitas universal yang menuntun manusia untuk senantiasa melakukan hal-hal bersifat normative (what should be). Kepekaan dari hai yang mampu merasa akan menuntun manusia untuk senantiasa melakukan tindakan kebaikan secara konsisten dan ajeg. Tindakan amoral yang bertentangan dengan nilai kebaikan universall akan membuat hatinya merasa tidak nyaman, gelisah, dan berdosa. Begitulah urgensi dari saktinya hati yaitu rasa.
3.      Karsa
Menurut Ki Hajar Dewantara (2004:452) “Karsa merupakan kemauan atau kehendak yang timbul seakan-akan sebagai hasil buah fikiran dan perasaan. Sebenarnya kemamuan merupakan lanjutan daripada hawa nafsu kodrati yang ada dalam jiwa manusia, namun sudah dipertimbangkan oleh fikiran  serta diperhalus oleh perasaan, hingga tak lagi bersifat “instincten” yang mentah, ataupun dorongan-dorongan yang kasar dan rendah”. Berdasarkan pendapat Ki Hajar Dewantara, dapat dimaknai bahwa karsa merupakan kemauan atau kehendak yang tidak bersifat instingtif, jika kemauan dikendalikan oleh hawa nafsu kodrati yang bersifat kasar dan rendah layaknya insting hewani, maka kehendak manusia akan melahirkan tindakan destruktif. Hal yang demikian bukanlah karsa, karsa adalah kemauanyang sakti yaitu kemauan yang didasari atas pertimbangan akal dan hati, dialektika antara akal dan hati akan melahirkan kemauan yang berujung pada tindakan reflektif, tindakan yang penuh kesadaran, bukan tindakan instingtif.

Saktinya ketiga komponen jiwa yaitu akal, hati, dan kehendak akan menghasilkan manusia susila atau makhuk yang berbudi dan beradab. Juga manusia yang mampu mengurus diri sendiri, manusia lain, dang bangsanya. Dalam konsep Ki Hajar Dewantara disebut Trihayu (memayu hayuning salira, menungsa, dan bangsa). Konsep Humanisasi dari Ki Hajar Dewantara sama halnya humaniasi bagi Paulo Freire, melalui bangkitnya subjek dari situasi penindasan, melalui bangkitnya kesadaran, kesadaran adalah manifestasu jiwa yang mengawali proses penyempurnaan manusia melalui dialektika antara akal, hati, dan tindakan.
Bangkitnya atau tumbuhnya kesadaran adalah humanisasi. Kesadaran karena itu bukan kesadaran yang terbirokrasi di sebuah peranan terbatas yang manusia terperangkap di dalamnya, seperti pada kasus cogito ergo sum,hanya dengan berpikir aku mengada. (Kognitivisme yang ekslusif dapat terperangkap dalam birokratisasi kesadaran yang demikian ini). kesadaran tidak rasional atau kognitif atau intelektualistik belaka. Aku mengada dengan aksi-refleksi, dalam rangka transformasi. Ksadaran juga bukan bersifat reflexive, yang hanya memantulkan realitas; tetapi adalah reflective, merenungi-memaknai dunia dan dan diri sendiri. Kesadaran adalah totalitas manusia, pemikiran, perasaan, tubuh, aspirasi, cita-cita. Pada akhirnya kesadaran menuntun pada humanisasi, transformasi. Definisi kesadaran dari Paulo Freire ini, mengimplikasikan kemampuan metakognisi, kemampuan berfikir tentang berpikir.
Untuk mencapai humanisasi tersebut maka diperlukan capaian-capaian pendidikan yang lebih terminal, yaitu capaian dalam 1) kesadaran kritis yang terdiri dari refleksi otentik, the reason of beings, pemahaman kontekstual, pengetahuan yang hidup dan iluminatif : 2) reading the word and the world ; 3) transformasi.

Sumber : Dr. Kesuma, Dharma. Struktural Fundamental Pedagogik Penerbit PT Refika Aditama 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar