A. Humanisasi
Tujuan
pendidikan menurut Freire adalah humanisasi. Tujuan humanisasi juga diungkapkan
oleh Ki Hajar Dewantara (Syaripudin, 2015) bahwa “dharma manusia adalah
mewujudkan kemanusiaan”. Selanjutnya Menurut Habullah (2000), “humanisasi
menurut Ki Hajar Dewantara yaitu menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada
anak-anak itu, agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat
dapatlah mencapai keselamatan dan kebahagiaan setinggi-tingginya”. Kodrat
dimaknai sebagai sifat bawaan manusia, dilahirkan dengan bekal kekuatan kodrati
tersebut yaitu: akal budi, rasa aman, insting, nafsu (memiliki potensi untuk
berbuat baik atau jahat). Berdasarkan pendapat Syarifudin dan Hasbulloh dapat
disimpulkan bahwa humanisasi menurut konsep Ki Hajar Dewantara adalah tercapainya
kodrat dan dharma manusia. Kodrat dan dharma manusia bisa dicapai melalui
atribut-atribut dari jiwa manusia yang disebut trisakti jiwa (cipta, rasa, dan
karsa). Menurut Ki Hajar Dewantara (2004:93-94), maksud luhur dari pendidikan
yaitu tertuju pada fungsionalitas dari jiwa yang termanifestasi pada akal,
hati, dan kehendak. Ki Hajar Dewantara menambahkan bahwa untuk mengetahui
kodrat alam itu perlulah orang memiliki budi yang bersih (wijsheid) dan
termanifestasi pada angan-angan yang tajam, halusnya rasa, dan suci kuatnya
kemauan, yaitu sempurnanya cipta- rasa- karsa dan ketiganya harus sakti, oleh
karena itu disebut Trisakti Jiwa. Akal bisa sakti jika ia mampu men-cipta, hati
bisa sakti jika ia mampu me-rasa, dan kehendak bisa sakti jika ia mampu meng-karsa.
Konsep tentang Trisakti Jiwa akan penulis jabarkan sebagai berikut:
1. Cipta
Menurut Ki Hajar
Dewantara (2004: 451) “Cipta dapat diartikan sebagai daya berfikir yang
bertugas mencari kebenaran akan sesuatu dengan jalan membandingkan, mencari
beda dan samanya. Cipta juga merupakan aktivitas berfikir untuk memperoleh
ketentuan mana yang benar dan mana yang salah”. Selanjutnya Ki Hajar Dewantara
menegaskan bahwa dalam proses kejiwaan ini perlu kiranya difasilitasi oleh
pengalaman-pengalaman tentang yang benar dan yang salah. Dalam hal men-cipta,
manusia berkuasa untuk berangan-angan secara aktif dan subjektif, yaitu
bertindak menurut keinginanya sendiri. Pendidikan sebagai Humanisasi harus
mengkondisikan peserta didik menjadi
subjek yang mampu mencipta, daya cipta merpakan kesaktian dari akal. Jadi jika
akal disamakan layaknya kardus yang harus diisi ilmu pengetahuan dengan
buku-buku yang tekstualis, dampaknya akal hanya mampu mencopy realitas atau
pengetahuan, maka akalnya melempem, tidak sakti, tidak berdaya, oleh karenanya
akal mengalami dehumanisasi. Manusia memiliki kekuatan kreatif yang ajaib untuk
mengkonfirmasi segala ciptaan Tuhan, me-re-kreasinya menjadi apapun yang bisa
berguna dan bermanfaat bagi kehidupannya. Oleh karena itu pendidikan harus
tertuju pada pemberdayaan kesaktian dari akal yaitu cipta. Itulah Humanisasi.
2. Rasa
Menurut Ki Hajar
Dewantara (2004:451-452) “Rasa adalah segala gerak-gerik hati kita, yang
menyebabkan kita, mau tidak mau, merasa senang atau susah, sedih atau gembira,
malu atau bangga, puas atau kecewa, berani atau takut, marah atau berbelas
kasih, benci atau cinta, begitu seterusnya. Yang mengalami rasa adalah hati,
bukan fikiran kita. Melalui kesaktian cipta kita dapat memperoleh ketetapan
tentang kebenaran atau kesalahan, maka dengan kesaktian rasa dalam jiwa kita
ddapat memperoleh ketentuan tentang apa yang baik dan apa yang jelek”.
Berdasarkan pendapat Ki Hajar Dewantara tentang konsep “rasa”, dapat dimaknai
bahwa manusia itu memiliki hati yang mampu me-rasa, itu artinya manusia
memiliki kepekaan pada segala sesuatu yang dianggap baik maupun buruk. Nilai
kebaikan tentunya diselimuti oleh nilai-nilai moralitas universal yang menuntun
manusia untuk senantiasa melakukan hal-hal bersifat normative (what should be).
Kepekaan dari hai yang mampu merasa akan menuntun manusia untuk senantiasa
melakukan tindakan kebaikan secara konsisten dan ajeg. Tindakan amoral yang
bertentangan dengan nilai kebaikan universall akan membuat hatinya merasa tidak
nyaman, gelisah, dan berdosa. Begitulah urgensi dari saktinya hati yaitu rasa.
3. Karsa
Menurut Ki Hajar
Dewantara (2004:452) “Karsa merupakan kemauan atau kehendak yang timbul
seakan-akan sebagai hasil buah fikiran dan perasaan. Sebenarnya kemamuan
merupakan lanjutan daripada hawa nafsu kodrati yang ada dalam jiwa manusia,
namun sudah dipertimbangkan oleh fikiran
serta diperhalus oleh perasaan, hingga tak lagi bersifat “instincten”
yang mentah, ataupun dorongan-dorongan yang kasar dan rendah”. Berdasarkan
pendapat Ki Hajar Dewantara, dapat dimaknai bahwa karsa merupakan kemauan atau
kehendak yang tidak bersifat instingtif, jika kemauan dikendalikan oleh hawa
nafsu kodrati yang bersifat kasar dan rendah layaknya insting hewani, maka
kehendak manusia akan melahirkan tindakan destruktif. Hal yang demikian
bukanlah karsa, karsa adalah kemauanyang sakti yaitu kemauan yang didasari atas
pertimbangan akal dan hati, dialektika antara akal dan hati akan melahirkan
kemauan yang berujung pada tindakan reflektif, tindakan yang penuh kesadaran,
bukan tindakan instingtif.
Saktinya ketiga
komponen jiwa yaitu akal, hati, dan kehendak akan menghasilkan manusia susila
atau makhuk yang berbudi dan beradab. Juga manusia yang mampu mengurus diri
sendiri, manusia lain, dang bangsanya. Dalam konsep Ki Hajar Dewantara disebut
Trihayu (memayu hayuning salira, menungsa, dan bangsa). Konsep Humanisasi dari
Ki Hajar Dewantara sama halnya humaniasi bagi Paulo Freire, melalui bangkitnya
subjek dari situasi penindasan, melalui bangkitnya kesadaran, kesadaran adalah
manifestasu jiwa yang mengawali proses penyempurnaan manusia melalui dialektika
antara akal, hati, dan tindakan.
Bangkitnya atau
tumbuhnya kesadaran adalah humanisasi. Kesadaran karena itu bukan kesadaran
yang terbirokrasi di sebuah peranan terbatas yang manusia terperangkap di
dalamnya, seperti pada kasus cogito ergo
sum,hanya dengan berpikir aku mengada. (Kognitivisme yang ekslusif dapat
terperangkap dalam birokratisasi kesadaran yang demikian ini). kesadaran tidak
rasional atau kognitif atau intelektualistik belaka. Aku mengada dengan
aksi-refleksi, dalam rangka transformasi. Ksadaran juga bukan bersifat reflexive, yang hanya memantulkan
realitas; tetapi adalah reflective, merenungi-memaknai
dunia dan dan diri sendiri. Kesadaran adalah totalitas manusia, pemikiran,
perasaan, tubuh, aspirasi, cita-cita. Pada akhirnya kesadaran menuntun pada
humanisasi, transformasi. Definisi kesadaran dari Paulo Freire ini,
mengimplikasikan kemampuan metakognisi, kemampuan berfikir tentang berpikir.
Untuk mencapai
humanisasi tersebut maka diperlukan capaian-capaian pendidikan yang lebih
terminal, yaitu capaian dalam 1) kesadaran kritis yang terdiri dari refleksi
otentik, the reason of beings, pemahaman
kontekstual, pengetahuan yang hidup dan iluminatif : 2) reading the word and the
world ; 3) transformasi.
Sumber
: Dr. Kesuma, Dharma. Struktural Fundamental Pedagogik Penerbit PT Refika
Aditama 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar