Pedagogik
di masa lalu pernah di anggap terbentuk oleh kemampuan-kemampuan
pendidik/pedagog yang disebut instinct,
tact dan inspiration (Salvatori,
1995: 233-234). Instinct, tact dan inspiration adalah kemampuan bawaan,
terbawa ketika individu dilahirkan. Pandangan ini mengasumsikan pedagog adalah
dilahirkan bukan diciptakan, dan pedagogi sebagai an art bukan a since. Konsekuensi
dari pandangan ini adalah bahwa ilmu
pendidikan, jika ada, kurang bermanfaat karena tindakan mendidik tergantung
pada kemampuan-kemampuan yang sifatnya
sangat subjektif, tidak dapat dijelaskan dan diprediksi, bukan bertumpu pada
prinsip-prinsip umum yang dapat dipelajari atau dikuasai oleh siapapun.
Konsekuensi lainnya dapat juga bahwa
pendidikan persiapan guru bersifat sia-sia karena pendidik itu ada karena
dilahirkan, bukan dihasilkan melalui pendidikan.
Juga,
pada waktu itu dipercayai bahwa instinct,
tact dan inspiration ini
berkaitan dengan religius. Namun, dalam tahun 1880-an dan 1890-an, dalam
lingkungan akademik tumbuh sikap penolakan terhadap pengaitan sebuah disiplin
akademik dengan kekuatan-kekuatan super-natural
atau super-rational yang dapat
membantu guru dan siswa. Ini adalah sebuah kecenerungan penting yang perlu
dicatat oleh kalangan akademisi dan pendidik indonesia. Pedagogi yang awal ini
lebih merupakan art atau praktik, dan
hubungannya dengan sains bersifat renggang atau tidak ada sama sekali. Versi
yang berlawanan dari pedagogi sebagai an
art dan bersifat metafisik di atas, adalah pedagogi sebagai a since. Disini sience dijadikan tumpuan dalam rangka justifikasi status akademis
pedagogi.
Wiliam
Paine, profesor pertama tahun 1880-an dari the
Science and the Art of Teaching di the University of Michigan, mengaitkan
pedagogi sebagai an art dengan a sience. Ia berupaya mendirikan “a rational art of educating”. Di
dasarkan atas kajian prinsip-prinsip dan doktrin ketimbang didasarkan atas
metode yang sudah tersedia dan digunakan tanpa sebuah kriteria. Ia mengkritik
pendidikan yang dilakukan secara “natural”
atau “inspirational”. Ia juga mengeritik secara terbuka praktik
pendidikan yang dilaksanakan secara mekanikal, empirikal, dan praktikal, dan ia
tergiring memuji berlebihan secara ekslusif teori. Ia memilih hanya mengajarkan
teori, dan pengalihan teori menjadi praktik adalah urusan para mahasiswanya
(Salvatory, 1995:239).
Josiah
Royce (1891), seorang filsuf dan seorang profesor filsafat di Harvard
University, universitas yang sama dengan Hanus, skeptis terhadap pengembangan science of education. Ia mengakui
keinginanya untuk memperkuat kepentingan guru-guru akan aspek-aspek teoritis
dan profesi guru. Tetapi dengan menghargai tinggi pengetahuan natural, instinctive, artistic dari
seorang guru maka akan tidak ada kebutuhan dan kemungkinan pengembangannya
adalah melalui praktik-praktik (art) tanpa membutuhkan teori. Definisi
pendidikan Royce sepenuhnya bertumpu pada penegasan Wilhelm Dilthey tentang
variabilitas hakikat manusia dan ketidakmungkinan mencapai kesepakatan
berkenaan dengan sebuah sistem moral yang akan mendefinisikan tujuan
pendidikan. Singkatnya, variabilitas hakikat manusia dan variabilitas sistem
moral membuatr pengembangan prinsip-prinsip umum pendidikan (teori pendidikan)
menjadi tidak mungkin. Royce memang mengakui guru-guru membutuhkan “scientific training for the calling” karena
instinc mereka, jika tidak
disiplinkan oleh sains, dapat membuat mereka memiliki keyakinan-diri yang buta.
Salvatory (1995:241) menyimpulkan pandangan Royce bahwa tidak ada sains
pendidikan yang tidak akan membutuhkan adaptasi besar-besaran dan konstan
dengan kebutuhan-kebutuhan guru secara individual, modifikasi konstan
sehubungan dengan individu siswa, dan dilengkapi secara onstan oleh the divine skill of the born teacher’s
instinct”.
Arnold
Thompkin (1894), seorang filuf, berbeda dari Paine yang menjauh dari praktik
dan bertumpu pada teori, juga berbeda dari James yang menyarankan mengimpor
teori sains untuk pemanfaatannya secara tidak langsung dalam praktik mendidik,
juga berbeda dari Royce yang mirip James yang memandang sains harus diadaptasi
dalam praktik mendidik. Menurut Thompkin, praktik mendidik adalah situs dan
sarana untuk mengetes dan mengubah teori. Martabat pekerjaan tidak bergantung
pada apa yang seseorang lakukan, tetapi pada kontrol sadarnya dengan bantuan
adanya hukum universal. Sains tidak dapat menyediakan generalisasi-generalisasi
yang sesuai secara eksak dengan kasus konkrit. Individu-individu yang
ditempatkan dalam sistem saintifik mempertahankan individualitasnya.
Sesungguhnya, bukanlah sains tanpa perbedaan-perbedaan tersebut. Dalam rangka
memiliki sebuah ilmu, fakta general, atau hukum, harus dipandang sebagai
mengejawantahkan dirinya sendiri dalam keberagaman individual.
Sumber
: Dr. Kesuma, Dharma. Struktural Fundamental Pedagogik Penerbit PT Refika
Aditama 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar