Jumat, 09 Desember 2016

Pedagogik Amerika 1819-1929




Pedagogik di masa lalu pernah di anggap terbentuk oleh kemampuan-kemampuan pendidik/pedagog yang disebut instinct, tact dan inspiration (Salvatori, 1995: 233-234). Instinct, tact dan inspiration adalah kemampuan bawaan, terbawa ketika individu dilahirkan. Pandangan ini mengasumsikan pedagog adalah dilahirkan bukan diciptakan, dan pedagogi sebagai an art bukan a since. Konsekuensi dari pandangan ini  adalah bahwa ilmu pendidikan, jika ada, kurang bermanfaat karena tindakan mendidik tergantung pada  kemampuan-kemampuan yang sifatnya sangat subjektif, tidak dapat dijelaskan dan diprediksi, bukan bertumpu pada prinsip-prinsip umum yang dapat dipelajari atau dikuasai oleh siapapun. Konsekuensi lainnya dapat  juga bahwa pendidikan persiapan guru bersifat sia-sia karena pendidik itu ada karena dilahirkan, bukan dihasilkan melalui pendidikan.

Juga, pada waktu itu dipercayai bahwa instinct, tact dan inspiration ini berkaitan dengan religius. Namun, dalam tahun 1880-an dan 1890-an, dalam lingkungan akademik tumbuh sikap penolakan terhadap pengaitan sebuah disiplin akademik dengan kekuatan-kekuatan super-natural atau super-rational yang dapat membantu guru dan siswa. Ini adalah sebuah kecenerungan penting yang perlu dicatat oleh kalangan akademisi dan pendidik indonesia. Pedagogi yang awal ini lebih merupakan art atau praktik, dan hubungannya dengan sains bersifat renggang atau tidak ada sama sekali. Versi yang berlawanan dari pedagogi sebagai an art dan bersifat metafisik di atas, adalah pedagogi sebagai a since. Disini sience dijadikan tumpuan dalam rangka justifikasi status akademis pedagogi.

Wiliam Paine, profesor pertama tahun 1880-an dari the Science and the Art of Teaching di the University of Michigan, mengaitkan pedagogi sebagai an art dengan a sience. Ia berupaya mendirikan “a rational art of educating”. Di dasarkan atas kajian prinsip-prinsip dan doktrin ketimbang didasarkan atas metode yang sudah tersedia dan digunakan tanpa sebuah kriteria. Ia mengkritik pendidikan yang dilakukan secara “natural” atau  “inspirational”. Ia juga mengeritik secara terbuka praktik pendidikan yang dilaksanakan secara mekanikal, empirikal, dan praktikal, dan ia tergiring memuji berlebihan secara ekslusif teori. Ia memilih hanya mengajarkan teori, dan pengalihan teori menjadi praktik adalah urusan para mahasiswanya (Salvatory, 1995:239).

Josiah Royce (1891), seorang filsuf dan seorang profesor filsafat di Harvard University, universitas yang sama dengan Hanus, skeptis terhadap pengembangan science of education. Ia mengakui keinginanya untuk memperkuat kepentingan guru-guru akan aspek-aspek teoritis dan profesi guru. Tetapi dengan menghargai tinggi pengetahuan natural, instinctive, artistic dari seorang guru maka akan tidak ada kebutuhan dan kemungkinan pengembangannya adalah  melalui praktik-praktik (art) tanpa membutuhkan teori. Definisi pendidikan Royce sepenuhnya bertumpu pada penegasan Wilhelm Dilthey tentang variabilitas hakikat manusia dan ketidakmungkinan mencapai kesepakatan berkenaan dengan sebuah sistem moral yang akan mendefinisikan tujuan pendidikan. Singkatnya, variabilitas hakikat manusia dan variabilitas sistem moral membuatr pengembangan prinsip-prinsip umum pendidikan (teori pendidikan) menjadi tidak mungkin. Royce memang mengakui guru-guru membutuhkan “scientific training for the calling” karena instinc mereka, jika tidak disiplinkan oleh sains, dapat membuat mereka memiliki keyakinan-diri yang buta. Salvatory (1995:241) menyimpulkan pandangan Royce bahwa tidak ada sains pendidikan yang tidak akan membutuhkan adaptasi besar-besaran dan konstan dengan kebutuhan-kebutuhan guru secara individual, modifikasi konstan sehubungan dengan individu siswa, dan dilengkapi secara onstan oleh the divine skill of the born teacher’s instinct”.

Arnold Thompkin (1894), seorang filuf, berbeda dari Paine yang menjauh dari praktik dan bertumpu pada teori, juga berbeda dari James yang menyarankan mengimpor teori sains untuk pemanfaatannya secara tidak langsung dalam praktik mendidik, juga berbeda dari Royce yang mirip James yang memandang sains harus diadaptasi dalam praktik mendidik. Menurut Thompkin, praktik mendidik adalah situs dan sarana untuk mengetes dan mengubah teori. Martabat pekerjaan tidak bergantung pada apa yang seseorang lakukan, tetapi pada kontrol sadarnya dengan bantuan adanya hukum universal. Sains tidak dapat menyediakan generalisasi-generalisasi yang sesuai secara eksak dengan kasus konkrit. Individu-individu yang ditempatkan dalam sistem saintifik mempertahankan individualitasnya. Sesungguhnya, bukanlah sains tanpa perbedaan-perbedaan tersebut. Dalam rangka memiliki sebuah ilmu, fakta general, atau hukum, harus dipandang sebagai mengejawantahkan dirinya sendiri dalam keberagaman individual.

Sumber : Dr. Kesuma, Dharma. Struktural Fundamental Pedagogik Penerbit PT Refika Aditama 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar