C.
Konteks Kurikulum
Pertanyaan-pertanyaan
yang menggugat akan menyoroti konteks kurikulum. Kurikulum tidak sekedar berupa
program pendidikan dan isi pendidikan. Kurikulum memiliki konteks, paradigma,
dan asusmsi; yang sifatnya sering tersembunyi. Untuk kepentingan siapa dan apa
isi kurikulum yang ada ini? Apa kerangka-kerangka filosofis dan teoritis yang
mendasarinya? Apa titik tolaknya? Secara lebih khusus, misalnya, untuk
kepentingan apa dan siapa iptek menjadi isi kurikulum? Bukankah pengusutan
iptek secara ekslusif sudah berarti penerimaan paham neopotivisme? (misalnya
anggapan bahwa apapun yang tidak ilmiah dalam artian neopotivisme, observable-measurable-overt behavior, tidak
berguna dalam pengelolaan kurikuler).
Freire (1997:41)
menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas secara tegas dan terbuka. Ia menyatakan
bahwa kurikulum yang isinya hanya Iptek berperanan melayani the dominant order. Mereka menolak
praktik pendidikan yang berupaya menyingkap ideologi dominan dan mereduksi pendidikan
sebagai tranfer isi semata-mata yang dianggap cukup untuk menjamin kehidupan
yang bahagia. Mereka menganggap sebuah kehidupan yang berbahagia adalah jika
seseorang didalamnya beradaptasi tanpa marah, tanpa protes, dan tanpa
memimpikan transformasi, mengalir sajalah.
Mereka, kelompok
dominan, berbicara tentang sangat pentingnya program pedagogis
profesionalisasi, meskipun program ini tidak berisi kemungkinan untuk memahami
masyarakat secara kritis. Menurut kelompok dominan ini, pembangunan adalah
penelitian, hanya berisi technicalities. Penyusunan
kurikulum menjadi uyrusan spesialis semata-mata (Freire, 1997:43, 44, 46).
Pendidikan mengalami depolitisasi. Tetapi, pendidikan yang hanya berisi
kesadaran politis atau sosial yang mengabaikan iptek juga sebuah pendidikan
yang keliru. Dalam pendidiakan yang baik,
keduanya tidak mungkin dipisahkan. Dengan kata lain, pendidikan tidak
hanya a reading of the word, a reading of
the text, tetapi juga a reading of
the world, a reading of the context (Freire, 1997: 43, 46, 47; Shor &
Freire, 1987:68). Mengapa harus ada pemaduan text dan context, yaitu
karena kondisi sosial yang ada saat ini menuntut lulusan sekolah untuk mampu
memasuki pasar tenaga kerja yang predatory.
Pasar tenaga kerja ini diciptakan oleh kekuasaan dominan demi kepentingan
mereka sendiri, bukan kepentingan semua orang (Shor & Freire, 1987: 69;
Horton and Freire, 1990:86).
Kurikulum yang
mengutamakan sains dan teknologi adalah kurikulum neoliberalisme; tujuannya
agar lulusan (individu dan bangsa) mampu bersaing di pasar bebas. Menurut
Freire (Shor & Freire, 1987:8), persekolahan didirikan sebagai a delivery system untuk memasarkan
ide-ide resmi dan tidak untuk mengembangkan pemikiran kritis. Penyebabnya
adalah budaya, ideologi dan praktik positivistik yang sudah sejak lama
menghegemoni mereka. Positivisme, neopositivisme, adalah sepupu
kapitalisme-neoliberalisme. Dari sini muncul jargon-jargon bahwa ilmu adalah
objektif dan bebas nilai, juga bahwa pendidikan harus bebas nilai dan dengan
hanya mengajarkan sains dan teknologi. Dan dalam pendidikan dengan konsep
perbankan (banking), sains dan
teknologi tersebut hanya diingat dan diterima si terdidik (Freire, 1997:94-95).
Si terdidik tidak dituntut untuk melakukan tindakan kognitif apapun, karena
sains dan teknologi itu harta milik guru ketimbang suatu medium untuk
membangkitkan refleksi kritis guru maupun siswa. Karena itu atas nama
“pelestarian budaya dan penguatan” kita memiliki sebuah sistem yang tidak
menghasilkan pengetahuan yang benar juga budaya yang benar (Freire, 1970: 81).
Sumber : Dr Kesuma Dharma. Struktural
Fundamental Pedagogik. PT Refika Aditama
Tidak ada komentar:
Posting Komentar